Sejarah Penetapan Syariat Tarawih

Pada setiap bulan Ramadhan masjid-masjid disekitar kita menjadi  penuh sesak karena banyaknya jama’ah yang melaksanakan sholat tarawih.  Sudah banyak keterangan tentang pentingnya shalat ini namun mengenai sejarah penetapan sholat tarawih masih sedikit yang mengulas.  Dengan maksud untuk berbagi informasi yang saya dapatkan dari pengajian di perumahan Margahayu Permai, kami mencoba  menularkan kepada  sesama  muslim, semoga bermanfaat.

Sejarah Penetapan Sholat Tarawih

Beberapa minggu setelah peristiwa di Gua Hira’, Nabi saw mendapat perintah shalat malam dengan turunnya surat Al Muzammil ayat 1-11 yang artinya (ayat 1-2) adalah : Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) dimalam hari kecuali sedikit (daripadanya).

Kata Aisyah, “maka beliau dan para sahabatnya melaksanakan perintah itu setiap malam hingga kaki-kaki mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan) ayat akhir dari surat itu selama 12 bulan. Hal ini diperkuat juga oleh penegasan Ibnu Abbas. Kemudian Allah menurunkan ayat terakhir dari surat itu (ayat 20) yang memberi keringanan shalat malam itu hukumnya menjadi sunat (bagi kaum muslimin namun tetap wajib bagi nabi SAW)”

Demikian Nabi saw melaksanakan shalat malam itu selama 13 tahun hidup di Mekkah yakni sejak tahun ke-40 dari kelahirannya (Agustus 611M) hingga tahun ke-63 (April 623M) dan selama itu istilah shalat malam hanya disebut qiyamul lail dan tahajjud walaupun dilakukan pada bulan Ramadhan.

Setelah Nabi saw hijrah ke Madinah dan setelah menetap selama 17 bulan (dari Rabi’ul Awwal hingga Sya’ban tahun 2H), shalat malam masih terus dilakukan dan masih dengan istilah qiyamul lail dan tahajjud. Namun sejak turunnya surat Al Baqarah ayat 183-184 pada hari Kamis 28 Sya’ban tahun 2H (23 Februari 624M) , Nabi saw menyebut istilah lain bagi shalat tersebut dengan ungkapan qiyamu ramadhan.

Selain menyebut istilah baru, Nabipun menetapkan beberapa aturan pada shalat malam di bulan Ramadhan yang sebelumnya tidak dilakukan antara lain :

a.       Dikerjakan dengan berjama’ah atau munfarid/sendiri. Hal ini tampak jelas dari hadits riwayat Ahmad  yang artinya sbb  :

Dari Abu Dzar ia berkata : ”tatkala sepuluh hari terakhir Ramadhan, Nabi saw I’tikaf di masjid. Ketika shalat ashar pada hari ke 22 ia bersabda “Insya Allah kita akan berjama’ah malam ini, siapa diantara kamu yang akan shalat pada malam itu silahkan ia shalat yakni malam ke 23. Kemudian Nabi saw shalat malam itu dengan berjama’ah setelah shalat isya sampai lewat sepertiga malam, kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24 ia tidak berkata apapun dan tidak mengimami. Pada malam ke 25, setelah shalat ashar pada hari ke 24, beliau berdiri kemudian bersabda “kita akan berjama’ah malam ini insya Allah yakni pada malam ke 25. Siapapun yang mau ikut berjama’ah silahkan. Kemudian ia mengimami orang-orang sampai lewat sepertiga malam, kemudian ia pulang.   Tatkala malam ke 26 ia tidak berkata apapun dan tidak mengimami kami. Pada malam ke 27, setelah shalat ashar pada hari ke 26, beliau berdiri kemudian bersabda “insya Allah kita akan berjama’ah malam ini yakni pada malam ke 27. Siapa yang mau mengikuti berjama’ah silahkan”, Abu Dzar berkata “maka kami berusaha keras untuk ikut shalat berjama’ah itu, lalu Nabi saw mengimami kami sampai lewat sepertiga malam, kemudian  beliau pergi menuju qubahnya di masjid (karena sedang I’tikaf)”. Saya berkata kepadanya “bagaimana jika kami sangat menginginkan Tuan mengimami kami sampai subuh? Beliau bersabda “wahai Abu Dzar jika engkau shalat beserta imammu dan engkau selesai (shalat) ketika imam itu selesai. Telah ditetapkan (pahala) untukmu karena panjangnya salatmu pada malamku (lihat Musnad Al Imam Ahmad, V : 172)

Sikap seperti ini tidak pernah dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekkah termasuk pada bulan Ramadhan, demikian pula selama di Madinah diluar bulan Ramadhan.

b.      Dikerjakan pada awal, tengah dan akhir malam. Hal ini berbeda dengan Ramadhan ketika di Mekkah atau diluar bulan Ramadhan ketika sudah hijrah ke Madinah.

Pada riwayat Al Bukhari, Umar bin Khathab menyatakan yang artinya : Dan orang-orang melakukan (shalat arawih) pada awal malam (lihat Fathul Bari, IV No.2010).

Dari sinilah kita mendapatkan adanya kaifiat yang berbeda ketika shalat itu dilaksanakan diluar bulan Ramadhan yang populer dengan sebutan Tahajjud dan witir serta yang dilakukan di bulan Ramadhan yang populer dengan sebutan qiyamu ramadhan dan tarawih.

Praktek Shalat Tarawih Nabi saw

Yang paling mengetahui bagaimana Nabi saw melaksanakan shalat qiyamu lail dibandingkan dengan para sahabat lainnya adalah Aisyah karena Nabi saw sering melakukannya waktu bermalam di Aisyah, maka ketika Ibnu Abas ditanya oleh Said bin Hisyam, ia berkata : (artinya) Maukah engkau  kutunjukkan orang yang paling mengetahui diantara penghuni bumi ini, tentang (shalat) witir Rasulullah saw? Sa’id bertanya “Siapakah?” Ibnu Abbas menjawab : “Aisyah, maka datanglah kepadanya dan bertanyalah….” (lihat Shahih Muslim, I : 298)

Selanjutnya bagaimana bilangan dan format raka’at shalat tarawih itu? Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ketika Ummul Mukminin Aisyah ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman  yang artinya : “Bagaimana (cara) shalat Rasulullah saw pada malam bulan Ramadhan? Ia (Aisyah) menjawab “Tidaklah Rasulullah SAW menambah pada bulan Ramadhan (juga) pada bulan yang lainnya dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat raka’at dan jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau shalat (lagi) empat raka’at dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga raka’at. Aisyah berkata “Aku bertanya wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum witir? Beliau menjawab “Hai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi hatiku tidak tidur”. HR. Al Bukhari pada Bab Fadhlu man Qama Ramadhan (lihat Shahih Al Bukhari 1997 : 396 No. 2.013). Hadits ini oleh Imam Al Bukhari ditempatkan pula pada Kitabut Tahajjud Bab Shalat Malam nabi pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya (lihat Shahih Al Bukhari hal. 225  No. 1.147).

Apakah shalat Tarawih format 4-4-3 yang ditegaskan oleh Aisyah ini merupakan ta’yin (kemestian) atau takhyir (pilihan). Untuk diluar Ramadhan (fi ghairihi) format ini bukan ta’yin karena ditemukan format lain yang pernah dilakukan oleh Nabi saw sebagaimana keterangan Aisyah sendiri juga sahabat lainnya antara lain :

1)      Format 2+2+2+2+2+1=11, cara ini disebut witir dengan 1 raka’at sesuai hadits Muslim yang artinya : Aisyah RA berkata “Rasulullah SAW shalat sebelas raka’at, beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at” (HR. Muslim)

2)      Format 2+2+2+2+3=11, cara ini disebut witir dengan 3 raka’at, sesuai dengan hadits Ibnu Majah yang artinya : Dari Amir As Sya’bi, ia berkata “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin ‘Umar RA tentang shalat malam Rasulullah saw, maka keduanya berkata, “Shalat Rasulullah pada malam hari tiga belas raka’at antara lain delapan raka’at dan witir tiga raka’at dan dua raka’at setelah fajar” (HR. Ibnu Majah).

Sedangkan didalam bulan Ramadhan (fi Ramadhan) format 4+4+3 adalah ta’yin (keharusan) karena tidak ditemukan format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keterangan Aisyah.

Hadits lain yang terkait dengan shalat Tarawih antara lain adalah :

1)      Jabir bin Abdullah telah berkata, “Rasulullah SAW shalat mengimami kami delapan raka’at pada malam Ramadhan dan beliau melakukan witir. Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul dan berharap beliau akan keluar lagi dan kami terus menerus disitu sampai pagi. Kemudian kami masuk dan berkata kepadanya “Wahai rasulullah, kami berkumpul di masjid tadi malam dan kami berharap anda mengimami kami, beliau bersabda “Saya khawatir dianggap wajib atas kalian” (HR. Ath Thabrani dalam al-Mu’jamus Shagir, I : 190 dan dalam Kitab Silsilah al Ahadits ad Dhaifah, II : 35 karya Syekh Al-Albani).

2)      Dari Aisyah ia berkata “Bahwasanya Rasulullah SAW bershalat di masjid dan orang-orangpun ikut shalat berjama’ah dengannya.   Kemudian beliau shalat pada hari kedua (pada bulan Ramadhan) dan orang-orangpun semakin banyak  dan berkumpul pada hari kedua atau keempat (untuk ikut berjama’ah). Kemudian (hari selanjutnya) Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka (untuk shalat). Ketika masuk waktu subuh beliau bersabda “Aku melihat apa yang telah kamu kerjakan, tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian semua selain khawatir (shalat itu) diwajibkan atas kamu dan itu pada bulan Ramadhan” . Muttafaq Alaih (lihat Nailul Authar, III:62)

Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari [4/123].
Ibn Hajar al-Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (Tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah [2/9635]).

Sejarah Shalat Tarawih Rutin Dilaksanakan Berjama’ah 

Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjabat khalifah, beliau melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jama’ah dan dipilihlah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu sebagai imam. (Lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

Al-Kasaani rahimahullahu mengatakan, “Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyamu Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9636]).

Ibn At-Tin rahimahullahu dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka. Tetapi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.”

Mengenai penamaan Tarawih (istirahat), karena para jama’ah yang pertama kali berkumpul untuk qiyamu Ramadhan ber-istirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 raka’at ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 raka’at lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul Arab [2/462] dan Fathul Bari [4/294]).

Oleh : Farid Mahmud Ahmad

About isyaat

Media Informasi Dan Tarbiyat MKAI Jakarta Barat

Posted on 21/06/2012, in Islam and tagged , , . Bookmark the permalink. Komentar Dinonaktifkan pada Sejarah Penetapan Syariat Tarawih.

Komentar ditutup.