Nama Tuhan Berlumuran Darah

Sejarah kehidupan manusia menapaki pekatnya debu dan lumuran darah. Sejak Qabil membunuh saudaranya, Habil, hingga kini berapa banyak darah yang sudah mengalir sehingga jika darah itu dikumpulkan, akan cukup untuk mewarnai pakaian seluruh penduduk bumi. Bahkan sisanya pun cukup untuk memerahi pakaian anak keturunan kita yang akan datang. Tetapi, sangat disesalkan, hingga hari ini manusia tidak pernah merasa puas meminum darah.

Demi kehormatan dan kekuasaan darah harus ditumpahkan.  Atas dasar dengki dan balas dendam darah dialirkan dan semata-mata ketamakan, mata air yang merah pekat ini terus mengalir membanjiri sungai-sungai kehidupan manusia yang sedang dilanda kehausan. Atas nama keluarga, golongan bahkan Tuhan mereka mendasarkan penumpahan darah ini. Tidakkah manusia merenungkan dan bertanya kepada hati kecilnya, untuk itukah kita semua diciptakan. Agama mencoba untuk mengubah manusia tidak beradab menjadi beradab namun jubah agama itupun nampak berlumuran darah. Sebuah syair menyatakan:

Mereka yang tadinya diharapkan akan mengobati penderitaan kita

Malah mereka yang lebih menderita daripada kita

Agama sebagai tumpuan satu-satunya yang akan menyelamatkan manusia dari pertumpahan darah di muka bumi ini, justru agama itu sendiri dinodai dengan lumuran darah manusia.

Ironis sekali. Agama dijadikan tumbal untuk memuaskan hasrat ketidakberagamaan. Banyak golongan yang mencela bahkan mengutuk agama atas realitas yang berseberangan ini. Dengan mengatasnamakan ketenteraman umat, agama dianggap telah mengajarkan pertumpahan darah. Darah menjadi halal untuk diminum atas dasar semangat keberagamaan yang buram.

Ada kesalahfahaman yang sedang terjadi. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Fakta-fakta sejarah agama-agama menyebutkan bahwa kekerasan yang dilakukan atas nama agama muncul dari orang-orang yang tidak beragama. Mereka mengklaim diri mereka beragama padahal mereka luput dari sifat beragama itu sendiri. Kalau ini terasa muluk-muluk coba saja tanyakan dulu pada hati mereka yang paling dalam, jika salah seorang atau beberapa orang anggota keluarga mereka atau yang mereka cintai dibantai secara sadis dengan mengusung simbol-simbol agama dan meneriakkan yel-yel agama dan semangat membela agama, apa mereka hanya berdiam diri, membungkam nurani mereka sambil mengatakan “itu memang benar! Apa ada yang salah?”

Ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan tabligh Islam kepada penduduk Mekkah, apa reaksi mereka? Mereka menganggap Rasulullah saw telah menodai agama mereka. Mereka menganggap diri mereka yang paling beragama. Dengan semangat melindungi agama mereka, mereka mengadakan intimidasi dan upaya pembunuhan terhadap Rasulullah saw dan para sahabat beliau.

Semua bermula dari reaksi atas sebuah perbedaan. Perbedaan dipandang sebagai sebuah momok, musuh yang harus diperangi. Hanya ada dua pilihan, “dia atau saya yang harus tamat”. Mengapa perbedaan terkesan seperti laknat? Banyak darah yang telah dialirkan gara-gara perbedaan? Apa yang sedang terjadi pada banyak manusia di muka bumi ini? Sekiranya perbedaan itu niscaya, siklus pertumpahan darah ini akan terus berputar. Tidak adakah jalan untuk memutus siklus ini? Kalau tidak ada, hanya tinggal menghitung hari kapan kita akan menumpahkan darah atau kita yang ditumpas.

Tuhan telah mewarisi perbedaan ini dalam setiap dinamika kehidupan manusia. Tidak mungkin perbedaan ini akan terus berbuah pertumpahan darah. Pasti dia telah menyematkan dalam wujud perbedaan itu suatu rahmat yang seringkali luput dari pandangan manusia, kalau begitu, dimana letak rahmat itu?

Agama manapun, semua berasal dari Tuhan. Tidak mungkin kalu suatu agama tertentu mengajarkan kejahatan. Kalau terjadi kejahatan, bukan salah agamanya tetapi ada yang salah dalam diri pemeluknya. Agama hanya menyediakan lintasan. Ke arah mana pemeluknya berjalan, itu terserah dia. Sekiranya setiap orang menghayati bahwa agama itu sumber kebaikan dan merupakan kebenaran yang sifatnya personal, dan ia berusaha untuk tidak meluapkannya kepada yang berbeda dengannya, inilah sebuah jalan untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Apapun namanya, pluralisme, keberagamaan, kemajemukan, ini yang seyogianya masuk ke dalam level praktis bukan teori yang mewacana secara abadi.

About isyaat

Media Informasi Dan Tarbiyat MKAI Jakarta Barat

Posted on 21/02/2012, in Islam and tagged . Bookmark the permalink. Komentar Dinonaktifkan pada Nama Tuhan Berlumuran Darah.

Komentar ditutup.